Penulis  : Rahmad Nasution ( Alumni FIB USU Angkatan 1987)

Penyunting : Budi Alimuddin (Alumni FIB USU, Angkatan 98)

Assalaamualaikum warahmatullahi wabarokatuh,  Alhamdulillah, puluhan alumni USU, terutama yang berasal dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB), dapat hadir dalam temu kangen dan silaturahmi Alumni FIB USU Se-Jabodetabek, lintas angkatan, pada 12 Maret 2023, di rumah mantan Dekan FIB USU, Prof. Dr. Budi Agustono.

Agenda utama dalam pertemuan itu, sebenarnya untuk menyosialisasikan Musyawarah Wilayah Ikatan Keluarga Alumni (Muswil IKA) USU Se-Jabodetabek. Namun seperti lazimnya temu kangen, banyak hal yang dibahas dalam pertemuan itu.

Mengingat tuan rumah pertemuan tersebut adalah juga seorang anggota Majelis Wali Amanat (MWA) USU, diskusi pun berkembang ke persoalan fasilitas pendidikan USU, kompetensi pengajar, dan kompetensi lulusan USU itu sendiri. Dari diskusi tersebut, muncul kesadaran, agenda setting para alumni berdasarkan Statuta USU yaitu menanamkan kesadaran akan pentingnya partisipasi aktif alumni USU, dalam mewujudkan USU sebagai World Class University. Saya menyimak begitu banyak gagasan bagus untuk memajukan USU, khususnya FIB. Menurut saya sayang jika gagasan-gagasan yang disampaikan oleh para senior,  kawan-kawan dan adik-adik alumni USU itu hanya tersimpan dalam memori namun tak sampai berkembang menjadi narasi dan aksi nyata. Maka saya ingin mendokumentasikannya dalam tulisan ini. Saya coba mengingat-ingat sejumlah ide dan gagasan yang disampaikan dalam forum tersebut, baik dari Pengurus Pusat (PP) IKA USU, anggota MWA, dan kami sebagai peserta. Semua itu tentulah sepatutnya dipandang  sebagai bentuk kecintaan mereka pada USU terkhusus FIB, terlepas dari cara penyampaiannya:  moderat atau bahkan ekstrem.

Beberapa pandangan, gagasan, dan harapan yang telah disampaikan, saya pikir hal ini sebagai bentuk otokritik, terhadap USU. Terlepas hal tersebut, berbasis pengalaman pribadi, maupun tinjauan rasionalitas rekan alumni, otokritik tersebut berdasarkan beberapa hal, yaitu ;  pertama, pentingnya memperkuat basis kompetensi mahasiswa USU, kedua, fakta yang tersaji adalah, pekerjaan selepas tamat kuliah tak selamanya sejalan dengan ijazah bidang studi S1 atau D3/D4 dimiliki.

Contohnya  lulusan pertanian tapi sangat sukses sebagai pebisnis lontong sayur di Jakarta. Atau alumni jurusan sejarah kembali kuliah hukum, dan jadi pengacara, atau sejumlah alumni ilmu sejarah yang bekerja sebagai konsultan kreatif komunikasi.

Ada usul juga alumni Back To Campus USU untuk mengisi sharing session dalam perkuliahan mahasiswa terkait dunia kerja, serta tips membuat Curriculum Vitae (CV) dan tips menghadapi wawancara  untuk melamar pekerjaan yang diimpikannya. Namun yang lebih penting lagi, perlu dilakukan pembenahan mesin birokrasi kampus dan mengubah budaya dan mindset yang cenderung tidak cocok dalam upaya konsolidasi USU menuju World Class University itu, yaitu ; “Tak senang melihat orang lain sukses dan senang melihat orang lain gagal dan terpuruk” (bagaimana mengubah tabiat ini menjadi budaya baru yang terbangun dari basis merit system)

Gagasan lain adalah bagaimana membantu USU mencapai target World Class University yang dibebankan negara, pada kampus, mengingat USU sudah lama berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dua, diantara yang sempat disampaikan kemarin adalah, perihal fasilitas kampus dan branding. Dalam hal ini kanal komunikasi satu arah USU ke publik Indonesia dan dunia melalui laman dan akun medsos resmi USU dan turunannya (laman fakultas, jurusan, dll).

Selain itu,  tentu fasilitas di ruang-ruang perkuliahan juga harus lah berstandar world class beneran. (tolak ukurnya adalah kampus-kampus luar negeri dengan reputasi dunia sebagai basis benchmarking ideal atau setidaknya tak kalah dengan UI dan UGM). Argumentasi saya terkait dengan soal ini antara lain, pembangunan sarana yang keren akan ikut mengubah mentalitas dan membentuk budaya baru. Pendekatan ini sudah dibuktikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan pembangunan trotoar yang layak bagi pejalan kaki, serta bersih dan estetik.

Kembali ke persoalan konten laman, medsos kampus: hendaknya jangan ada kesalahan gramatikal apalagi logika. Reputasi USU menurut saya langsung hancur di mata publik, akibat kesalahan ini. Sebagai contoh, saya pernah menemukan item berita berbahasa Inggris di konten laman resmi FIB, terkait informasi dan laporan berupa berita kegiatan Sastra Inggris yang penulisan kalimat- kalimatnya keliru secara gramatikal. Bak pepatah akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Konsekuensi dari temuan ini bisa fatal karena bisa saja muncul persepsi keliru dari pengunjung laman yang juga membaca item berita tersebut terhadap eksistensi jurusan Sastra Inggris. Sebagai alumnus Sastra Inggris FIB, temuan beberapa tahun lalu itu sempat membuat saya kaget dan kecewa sekali.

Saya lanjutkan lagi 1 atau 2  poin lain yang sempat mengemuka di acara “pengajian” kemarin.  Pertama terkait branding USU, selain soal konten laman resmi dan semua akun medsos USU yang tak boleh salah (baik versi Indonesia, apalagi Inggrisnya), tentu yang paling utama sebagai mesin branding USU adalah performa alumninya.

Dalam konteks ini, apa yang disampaikan kakanda Mulia Nasution maupun kakanda Muhamad Taufik Syahbuddin, (Wakil Ketua kepengurusan IKA USU Jakarta), layak diberi garis tebal. Saya ungkapkan latar belakangnya, ini berkaitan dengan pengalaman saya  beberapa tahun lalu, saat masih di struktural redaksi Antara. Saya masuk dalam tim uji calon karyawan Direktorat Redaksi LKBN Antara. Bahkan ujian tertulis kemampuan bahasa Inggris pun dipercayakan ke saya untuk membuatnya. Sudah barang tentu saya terlibat juga dalam ujiaan wawancara para pelamar tersebut. Dlm satu waktu ada 2 anak USU  yang lolos tes rekrutmen dan bekerja di Antara. Saya pun merasakan keluhan para senior tadi. Mereka lumayan pintar tapi dibandingkan UI dan UGM, mereka masih kalah dalam performa terkait ujian wawancara yang menggali pengetahuan umum, track record kegiatan organisasi ekstrauniversiter, dan produk tulisan mereka di media-media dan bagaimana mereka mengelola event-event media kampusnya sendiri.

Mengapa begitu? Berkaca dari keterbatasan diri saya sendiri sebagai “Anak Brandan”, lahir di Pangkalan Brandan,  Sekolah SD, SMP dan SMA, di kota kecil itu, tanpa bermaksud merendahkan kualitas pendidikan formal yang saya terima. Dari hati yang dalam saya merasa, dari aspek akamedis, saya memiliki kelemahan mendasar dalam menerapkan 4 skill berbahasa : reading comprehension (baca dan memahami sumber bacaan), listening (mendengar/ menyimak), writing (menulis dgn kaidah ilmiah/parafrase dll), serta speaking (presentasi karya). Saya tidak bermaksud narsis dengan  mengambil contoh dari pengalaman anak saya sendiri, Teguh, saat ikut saya tinggal, di Brisbane, Queensland, Australia (2004-2005) dan (2007-2009). Di dua periode residensi saya dan keluaga itu, kedua anak saya itu sekolah di public school di sana, terasa sekali fondasi kompetensi riset berbasis 4 skill berbahasa itu ditanamkan.

Fondasi riset berbasis 4 skill berbahasa itu tidak diajarkan secara terstruktur, saya pikir, ini cukup bagus kita terapkan pada jenjang  SD, SMP dan SMA di Indonesia. Contohnya, di sekolah-sekolah umum  Australia, guru pemberi tugas wajib memberikan bimbingan ke siswanya, mirip seperti saat kita kuliah dalam jenjang bimbingan skripsi degan dosen pembimbing. Tentu dalam artian yang sederhana. Maksud saya di sini, naskah paper siswa yang sudah rampung dikoreksi oleh guru dan semua catatan guru pada naskah tesebut harus diperbaiki lagi oleh siswa sebelum tenggat waktu pengumpulan tugas. Lantas, setelah semua siswa menyerahkan tugasnya, guru meminta setiap siswanya utk presentasi di depan kelas lengkap dengan Q n A session. Teguh harus bercerita apa isi papernya tentangg sejarah pertambangan emas di Australia itu dalam bahasa dia sendiri secara runut. Lalu ada siswa lain yang bertanya dan dia menjawabnya. Setiap anak yang bertanya si Teguh , anak saya itu, kasih permen sebagai apresiasi.

Kesimpulan saya, FIB USU perlu memberikan pembekalan di awal semester pertama para mahasiswa barunya tentang metodologi riset, academic writing, Public speaking dan soft skill lainnya.

Hal-hal yang terkait dengan keahlian dasar tadi, plus public speaking sabagai bagian dari soft skill. Jangan menunggu hingga akhir masa studi (menjelang menulis skripsi), baru ada matkul metodologi riset padahal paper assigment individual n kelompok (beberapa mahasiswa) sudah sepatutnya ada sejak awal perkuliahan. Semua ini menuntut penguasaan metodologi riset berikut aturan penulisan naskah akademis dan referensinya untuk menghindari jebakan Plagiarisme. (000)

Artikulli paraprakNegara, Pajak dan Revolusi Mental Jokowi
Artikulli tjetërROMY BARENO DAN HASBULLAH RAHMAD MENGHADIRI BIMTEK RELAWAN DI BEKASI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini